
SERANG — Kritik terhadap lemahnya perhatian pemerintah terhadap dunia kebudayaan kembali mencuat. Dalam Seminar Kebudayaan “Kilas Balik 25 Tahun Provinsi Banten” yang digelar Banten Genius Network, pada Sabtu (27/9/2025), di Teras Bamboo Caffe, Dalung, Kota Serang, sejumlah tokoh menilai pemerintah belum sungguh-sungguh memihak pada pelestarian budaya dan kreativitas lokal.
Ketua Umum Banten Genius Network, Yemmelia, menegaskan bahwa hingga kini keberpihakan pemerintah terhadap komunitas budaya masih minim.
“Komunitas budaya di daerah sangat banyak, tapi belum diakomodir. Kita ingin pemerintah lebih serius agar kreativitas lokal bisa tumbuh dan dilestarikan,” tegasnya.
Yemmelia juga menyoroti pentingnya sinergi antara kebudayaan, pariwisata, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
“Setiap event budaya seharusnya juga menghidupkan UMKM. Budaya, wisata, dan UMKM itu satu ekosistem. Tinggal bagaimana kita mengemasnya agar berkelanjutan,” ujarnya.
Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Banten, Lukman, yang hadir mewakili Gubernur Banten, mengakui bahwa porsi anggaran kebudayaan masih sangat kecil dibandingkan dengan pendidikan.
“Porsi kebudayaan baru sekitar 35 persen. Dari total Rp 3,5 triliun anggaran Dindikbud, hanya Rp 5 miliar yang dialokasikan untuk kebudayaan,” ungkapnya.
Menurut Lukman, pihaknya telah mengajukan usulan agar Bidang Kebudayaan dapat berdiri sebagai dinas tersendiri di bawah Pemerintah Provinsi Banten.

“Sudah kami ajukan ke Biro Hukum Pemprov. Karena di tingkat pusat pun sudah ada kementerian khusus kebudayaan,” katanya.
Budayawan Abah Yadi Ahyadi menilai perhatian pemerintah terhadap akar budaya dan sejarah lokal masih sangat rendah.
“Tanpa manuskrip, kita tidak tahu ideologi Banten. Padahal ideologi Banten berbasis Al-Qur’an, itu tercatat dalam karya Sultan Zainal Asyikin,” ujarnya.
Ia menyebut, nilai-nilai luhur Banten mulai terpinggirkan karena minimnya perhatian dan kebijakan yang berpihak pada pelestarian manuskrip serta tradisi lokal.
Sementara itu, Ketua PHRI Provinsi Banten, GS Ashok Kumar, menegaskan bahwa sektor kebudayaan harus menjadi pondasi utama dalam pembangunan pariwisata daerah.
“Budaya dan tradisi itu pondasi. Kalau fondasinya kuat, pariwisata otomatis punya daya tarik dan nilai jual,” tegasnya.
Ashok juga menekankan perlunya kesamaan visi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota agar kebijakan kebudayaan tidak berhenti di seremoni.
“Harus ada kepedulian nyata dari pemerintah. Semua pihak harus satu visi, bukan hanya seremonial,” tandasnya.
Ia menutup dengan pesan reflektif bahwa cinta pada budaya adalah bentuk cinta pada bangsa. “Harapannya, ke depan ada kolaborasi nyata antara komunitas, pelaku usaha, dan pemerintah,” ujarnya.
Ketua Pelaksana kegiatan, Yani, menambahkan bahwa seminar ini tidak sekadar ruang diskusi, tetapi menghasilkan rekomendasi nyata bagi para pemangku kebijakan.
“Kami akan sampaikan rekomendasi ke Menteri Kebudayaan, Menteri Pariwisata, Gubernur, hingga kepala daerah agar benar-benar berpihak pada kebudayaan,” pungkasnya.