Di Prancis, demonstrasi besar meledak setelah Presiden Emmanuel Macron meluncurkan kebijakan kontroversial pemangkasan hari libur nasional dan penghematan anggaran 44 miliar euro pada Juli 2025. Perdana Menteri François Bayrou mengumumkan rencana penghapusan dua hari libur—Easter Monday dan VE Day—untuk menekan defisit anggaran yang sudah menembus 114% dari PDB. Kebijakan itu memicu gelombang protes nasional bertajuk “Bloquons Tout” (Block Everything).

Kerusuhan pun pecah. Dua belas bus terbakar di Rennes, 25 jalur kereta di barat daya lumpuh, dan jaringan listrik di Paris rusak. Pelajaran penting: kalau perut rakyat lapar, romantisme Menara Eiffel tak lagi berarti. Revolusi sosial bisa meletus kapan saja.

Macron sebelumnya menuai kontroversi ketika menunjuk Gabriel Attal sebagai perdana menteri pada Januari 2024. Sorotan terhadap kehidupan pribadinya—terutama perbedaan usia dengan sang istri—ikut memanaskan suasana. Krisis politik makin dalam setelah pemerintahan Bayrou tumbang lewat mosi tidak percaya pada September 2025. Macron kemudian menunjuk Sébastien Lecornu sebagai perdana menteri baru, di tengah amarah publik atas pemangkasan belanja sosial.

Nepal: Gen Z Melawan Nepo Kids

Di Nepal, Gen Z turun ke jalan setelah pemerintah melarang 26 platform media sosial, termasuk TikTok dan Instagram, pada Agustus 2025. Larangan itu muncul karena perusahaan media sosial tak memenuhi tenggat registrasi di Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi. Isu korupsi dan gaya hidup mewah “nepo kids” pejabat yang viral di TikTok memperburuk keadaan.

Demo meluas menjadi bentrokan di Kathmandu. Sedikitnya 19 orang tewas dan ratusan luka-luka. PM KP Sharma Oli mundur pada 9 September 2025, ketika korban jiwa naik menjadi 22 dan lebih dari 1.300 orang terluka. Pemerintah memberlakukan darurat militer, mencabut akses media sosial, dan mengerahkan tentara untuk mengamankan ibu kota. Gedung parlemen dan pengadilan ikut dibakar massa.

Indonesia: Dari Joget DPR ke Penjarahan Rumah Pejabat

Di era digital, jangan flexing harta di tengah rakyat yang sedang susah mencari kerja. Ketika pejabat asyik berjoget sambil pamer kekayaan di media sosial, publik bisa cepat berubah marah. Dalam hitungan hari, yang tadinya berjoget terpaksa pindah ke rumah kontrakan.

Pada 30 Agustus 2025, penjarahan massal melanda rumah sejumlah pejabat: Ahmad Sahroni di Pantai Indah Kapuk, Eko Patrio di Kebayoran Baru, Uya Kuya di Pesanggrahan, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani di Bintaro. Televisi, kulkas, pakaian bermerek, pagar rumah, bahkan mobil ikut raib.

Pesan yang jelas: jangan pamer di depan rakyat yang lapar. Pejabat digaji dari pajak rakyat. Fokuslah pada kebijakan yang menyejahterakan, bukan menyusahkan.

Miris melihat drama pasca-penjarahan yang lebih seru daripada kisah Malin Kundang. Curhatan para pejabat di media sosial bahkan mengundang simpati sekaligus kritik. Tapi, pepatah tetap berlaku: tangan mencencang, bahu memikul.

Pelajaran dari sejarah revolusi Prancis membuktikan bahwa kemarahan rakyat selalu menemukan jalannya, meski zaman dan tokohnya berganti. Untung saja tidak ada yang berakhir di guillotine seperti Raja Louis XVI dan Marie Antoinette.

Beberapa pekan ke depan, kita mungkin akan mendengar pidato Macron, keluhan pejabat Nepal, hingga kisah pejabat Indonesia di berbagai podcast. Drama politik dan tragedi sosial ternyata bukan hanya ada di film—kehidupan nyata sering lebih rumit.

Sebagai jeda dari hiruk-pikuk itu, tak ada salahnya membaca buku. Romansa Cinta karya Novita Sari Yahya menyajikan antologi 23 cerpen tentang cinta, kehilangan, dan tragedi, termasuk kisah reformasi ’98, aktivisme, hingga perselingkuhan. Buku ini melembutkan ego dan mengajak kita lebih peka terhadap sesama.

Salam literasi, Novita Sari Yahya – Penulis & Peneliti Karya: Romansa Cinta, Padusi: Alam Takambang Jadi Guru, Novita & Kebangsaan, Makna di Setiap Rasa, Siluet Cinta Pelangi Rindu, Self Love: Rumah Perlindungan Diri. 📱 0895-2001-8812 | IG: @novita.kebangsaan