
SERANG – Kasus cemaran zat radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di Kawasan Industri Modern (KIM) Cikande, Kabupaten Serang, Banten, terus menyita perhatian publik dan memunculkan kekhawatiran luas.
Situasi ini semakin serius setelah Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol, resmi menetapkan KIM Cikande sebagai “Kejadian Khusus Cemaran Radiasi Cesium-137” pada akhir September 2025. Penetapan tersebut menjadi alarm keras bahwa ancaman radiasi di kawasan industri itu bukan masalah biasa dan menuntut langkah cepat, koordinasi lintas lembaga, serta penegakan hukum yang tegas.
Ketua Ikatan Jurnalis Lingkungan (IJL), Nusi, menilai pemerintah belum bertindak cukup cepat dalam menangani krisis radioaktif ini. IJL mendesak agar pemerintah mengambil langkah luar biasa dalam proses penanganan, dekontaminasi, dan pengawasan di kawasan industri tersebut.
Menurutnya, keterbukaan informasi publik menjadi hal penting, apalagi setelah ditemukan kontaminasi pada produk perikanan (udang beku) yang sempat beredar di pasar internasional, serta sepuluh titik pancaran radiasi dengan tingkat intensitas berbeda di area industri.
“Satgas Penanganan Cesium-137 harus memastikan perlindungan maksimal bagi 1.562 pekerja dan warga yang sudah menjalani pemeriksaan kesehatan,” tegas Nusi.
Meski pemerintah telah melakukan dekontaminasi di dua dari sepuluh titik dan memperketat akses kawasan dengan Radiation Portal Monitoring (RPM), IJL menilai langkah itu belum cukup.
“Kami mendesak agar penegakan hukum terhadap pihak yang bertanggung jawab dilakukan cepat dan tegas. Jangan biarkan kasus ini menguap,” ujar Nusi.
IJL juga menyoroti dugaan sumber limbah radioaktif yang disebut berasal dari praktik peleburan besi bekas, bahkan kemungkinan terkait reaktor nuklir dari luar negeri. Dugaan ini menegaskan perlunya investigasi terbuka dan audit lingkungan menyeluruh.

“Aktivitas peleburan bahan bekas yang berisiko tinggi terhadap keselamatan lingkungan tidak boleh dibiarkan. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap perusahaan yang lalai,” tambahnya.
IJL menegaskan, kasus ini harus menjadi momentum evaluasi besar terhadap sistem pengawasan limbah berbahaya di kawasan industri Indonesia.
“Pemerintah tidak boleh lengah. Penanganan material terkontaminasi Cs-137 harus tuntas. Audit lingkungan, regulasi limbah berbahaya, dan pengawasan industri harus diperketat. Keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan bukan pilihan, tapi kewajiban negara,” tandas Nusi.
Sebelumnya, Ketua DPR RI juga menyerukan agar kasus ini dievaluasi secara menyeluruh, bahkan bila perlu menutup sementara lokasi industri yang diduga menjadi sumber utama pencemaran, yakni PT PMT.