BANTEN,– Setiap tahun, bangsa ini memperingati Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari. Namun, tidak sedikit masyarakat, bahkan sebagian kalangan insan pers sendiri yang belum memahami mengapa tanggal tersebut dipilih, serta apa hubungannya dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Dan banyak pula yang mengira HPN adalah “hari raya semua media”, tanpa melihat akar sejarah yang melatarinya. Padahal, HPN tidak bisa dipisahkan dari sejarah kelahiran PWI, organisasi wartawan pertama dan tertua di Indonesia.
Oleh karenanya, penulis mencoba memberikan pemahaman yang jernih mengenai sejarah HPN, yang dikutip dari berbagai sumber, agar masyarakat tidak terjebak pada opini keliru yang berkembang, terutama di era kebisingan informasi hari ini.
Akar Sejarah: 9 Februari adalah Hari Lahir PWI
PWI didirikan pada 9 Februari 1946 di Surakarta, tidak lama setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Para wartawan pada masa itu bukan sekadar penulis berita; mereka adalah bagian dari perjuangan republik dalam melawan propaganda kolonial. Tanggal kelahiran organisasi inilah yang kemudian menjadi dasar penetapan HPN.
Maka, ketika bangsa ini memperingati HPN, sejatinya kita sedang mengenang hari lahir organisasi wartawan yang menjadi tulang punggung sejarah pers nasional. Tanpa memahami fakta awal ini, pembicaraan tentang HPN akan kehilangan orientasinya.
Gagasan HPN Berawal dari Kongres PWI
Gagasan menjadikan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional bukan muncul tiba-tiba, apalagi bukan keputusan sepihak pemerintah. Justru yang pertama mengusulkan adalah PWI sendiri, melalui Kongres PWI ke-28 di Padang tahun 1978.
Mengapa PWI mengusulkan HPN? Karena bangsa ini membutuhkan satu momentum bersama untuk menghargai peran pers dalam perjuangan kemerdekaan, meneguhkan profesionalitas wartawan, dan merawat solidaritas pers nasional dalam pembangunan negara.
Pada titik inilah hubungan HPN–PWI makin tak terbantahkan: PWI adalah penggagas HPN.
Pengakuan Negara: Keppres Nomor 5 Tahun 1985
Tujuh tahun setelah usulan itu muncul, pemerintah mengesahkan gagasan tersebut melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 1985.
Keppres itu secara tegas menyebutkan alasan penetapan HPN pada 9 Februari, yaitu karena tanggal tersebut adalah hari lahir PWI, yang dianggap sebagai salah satu peristiwa penting sejarah pers Indonesia.
Dengan kata lain, HPN bukan sekadar penetapan hari “profesi” seperti Hari Guru atau Hari Kesehatan. HPN adalah hari sejarah, hari yang melekat pada perjalanan panjang organisasi wartawan tertua di negeri ini.
Mengapa Pemahaman Publik Penting?
Di era sekarang, ketika ekosistem media semakin beragam dan organisasi wartawan semakin banyak, sebagian publik mulai mempertanyakan mengapa HPN dianggap identik dengan PWI.
Jawaban historisnya jelas: karena tanpa PWI, HPN tidak pernah ada.
HPN bukan milik satu organisasi, tetapi akar sejarahnya memang lahir dari rahim PWI. Memahami fakta ini bukan soal membela organisasi tertentu, tetapi tentang menghormati sejarah pers Indonesia.
Sama seperti Hari Pahlawan yang tak mungkin dipisahkan dari peristiwa 10 November, HPN pun tidak bisa dilepaskan dari 9 Februari—hari lahir PWI.
Penutup: Menghormati Sejarah, Menguatkan Masa Depan
Pers hari ini menghadapi tantangan besar yakni disrupsi digital, ketidakpastian ekonomi media, dan maraknya hoaks. Dalam situasi seperti ini, memahami sejarah HPN bukan nostalgia kosong, tetapi pijakan untuk membangun ekosistem pers yang lebih sehat, profesional, dan bertanggung jawab.
Menghormati sejarah pers berarti menghormati para wartawan pendiri bangsa. Menghayati HPN berarti merawat nilai-nilai keberanian, integritas, dan kebebasan yang mereka titipkan.
Dan memahami hubungan HPN dengan PWI berarti menempatkan sejarah pada tempatnya: sebagai fondasi, bukan perdebatan.
