
Ditulis Oleh: Novita Sari Yahya
Ungkapan Rocky Gerung tentang perempuan yang “indah secara fisik, berbahaya secara fakta” mencerminkan kekuatan perempuan yang tampil sebagai pemimpin di tengah krisis. Ketangguhan ini menginspirasi banyak pihak.
Salah satu contohnya adalah Sushila Karki, mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal (2016–2017), yang memimpin reformasi peradilan di tengah krisis politik negaranya. Ia pernah berkata, “Situasilah yang menyeret saya dari jalanan,” menggambarkan bagaimana keadaan memaksanya mengambil peran kepemimpinan.
Hal serupa dialami Aung San Suu Kyi, yang meski menjadi tahanan politik selama 15 tahun (1989–2010), tetap menjadi simbol perlawanan terhadap junta militer Myanmar. Ketangguhan juga tampak pada politisi muda Māori Selandia Baru, Hana-Rāwhiti Maipi-Clarke, yang pada 2023 menyuarakan aspirasi masyarakat adat dengan aksi simbolis di parlemen.
Di Indonesia, sosok seperti Gadis Arivia dan Karlina Supelli menjadi pelopor perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Pada 1998, mereka memimpin aksi protes dengan simbol susu sebagai bentuk kritik terhadap ketidakadilan sosial, yang ikut menggerakkan mahasiswa hingga rezim Soeharto tumbang.
Ibu Bangsa: Fondasi Pembentukan Karakter
Gerakan Ibu Bangsa lahir dari Kongres Perempuan Indonesia II pada 20–24 Juli 1935 di Jakarta. Gerakan ini menegaskan peran ibu dalam menanamkan nasionalisme pada generasi muda. Perempuan dipandang sebagai fondasi karakter bangsa melalui pendidikan keluarga.
Sejarah juga mencatat kepemimpinan perempuan Nusantara yang luar biasa: Ratu Kalinyamat memimpin perlawanan terhadap Portugis di Jepara pada abad ke-16, sementara Cut Nyak Dien gigih melawan penjajah Belanda di Aceh hingga usia senja.
Penghancuran Gerakan Perempuan
Dalam bukunya Sexual Politics in Indonesia (2002), Prof. Saskia Wieringa mendokumentasikan penghancuran gerakan perempuan seperti Gerwani pada 1965–1966. Propaganda Orde Baru menstigma perempuan progresif sebagai ancaman, meruntuhkan ruang gerak politik mereka.
Perempuan dalam Pusaran Perang
Perang selalu menempatkan perempuan dan anak sebagai korban utama.
Rwanda (1994): sekitar 800 ribu hingga 1 juta orang tewas, dan 100 ribu–250 ribu perempuan diperkosa dalam tiga bulan genosida. Serbia–Kosovo (1998–1999): sekitar 20 ribu perempuan menjadi korban kekerasan seksual oleh pasukan Serbia.
Perang Dunia II: diperkirakan 100 ribu–2 juta perempuan Jerman menjadi korban kekerasan seksual oleh Tentara Merah Soviet. Angka korban dari pasukan Sekutu juga signifikan, meski sering tidak tercatat secara resmi.
Di Asia, sekitar 200 ribu–400 ribu perempuan—dikenal sebagai jugun ianfu atau “wanita penghibur”—dipaksa menjadi budak seksual militer Jepang.
Bahaya Ultranasionalisme
Ultranasionalisme sering memicu konflik berdarah. Di Kosovo, nasionalisme ekstrem di bawah Slobodan Milošević mendorong pembersihan etnis Albania. Di Rwanda, propaganda ekstrem Hutu terhadap Tutsi menjadi pemicu genosida. Kedua kasus ini menunjukkan betapa berbahayanya kebencian berbasis identitas.
Pendidikan Ketahanan Keluarga: Benteng Peradaban
Bung Hatta pernah berkata, “Mendidik seorang pria hanya mendidik individu, tetapi mendidik seorang perempuan berarti mendidik satu generasi.”

Pendidikan ketahanan keluarga yang dipimpin perempuan adalah kunci pembentukan karakter bangsa. Nilai-nilai toleransi, empati, dan persatuan dapat ditanamkan sejak dini di rumah.
Data BPS (2024) menunjukkan wilayah dengan pendidikan rendah lebih rentan terhadap konflik sosial. Pendidikan keluarga yang baik memperkuat fondasi masyarakat dalam menghadapi tantangan, baik dari konflik internal maupun dampak budaya hedonis dan sensasi media sosial.
Gerakan Literasi untuk Pendidikan Karakter
Gerakan literasi menjadi pilar penting dalam membangun ketahanan keluarga.
UNESCO (2024) mencatat tingkat literasi perempuan Indonesia mencapai 92%, tetapi budaya membaca masih rendah (0,01 buku per kapita per tahun).
Literasi digital penting agar generasi muda mampu mengenali hoaks, ujaran kebencian, dan konten sensasional di media sosial.
Ketika ibu mengajarkan anak-anak membaca, menulis, dan berpikir kritis, mereka menanamkan nilai yang akan melindungi bangsa dari narasi intoleransi maupun ultranasionalisme.
Penutup
Fokus masyarakat pada gosip dan skandal mencerminkan prioritas yang keliru. Diskusi intelektual dan pendidikan justru membangun peradaban. Seperti Cut Nyak Dien yang memimpin perjuangan melawan kolonialisme, perempuan Indonesia telah membuktikan diri sebagai agen perubahan.
Dengan pendidikan ketahanan keluarga dan gerakan literasi, perempuan dapat membentuk karakter berintegritas, menolak budaya sensasional, dan menciptakan bangsa yang harmonis.